Danang Maulana Part 4
“Danang, hatiku sakit sekali… sakitttt sekali sampai - sampai rasanya nafasku ini sesak. Kenapa bisa kayak gini? Kamu pernah begini?”, sambil terus mencucurkan airmata kupandangi Danang yang tengah sibuk membereskan beberapa benda di lantai. Benda - benda itu beterbangan kesegala arah saat aku sedang mengamuk hebat tadi. “Teh, yang seperti itu tuh namanya patah hati. Saya pernah mengalami perasaan seperti itu, mengalaminya ketika Abah meninggal menyusul . Rasanya merasa sendirian, tak punya siapa - siapa lagi. Sakitnya bukan main…”, sekilas raut wajah Danang terlihat sangat sedih namun dia menepis kesedihannya dengan berkata, “Tapi sesakit - sakitnya saya ya Teh, belum pernah da ngelempar - lempar barang kaya gini! Untung aja tadi gelasnya kena ke perut Danang, coba kalau kena tipi… aduhhh berabe, harga tipi 90 inch kaya gini kan mahal pisan tetehh!!! Hehehe…”, dia terlihat memaksakan untuk tertawa. Aku lantas merasa tak enak akan sikapku tadi yang sepertinya berlebihan, lagipula rasanya kesedihanku ini tak serumet kesedihan Danang. “Maaf Danang, aku ngga tahu kalau masalahmu ternyata lebih ribet daripada masalahku”, kutundukkan kepalaku. Tiba - tiba saja Danang datang menghampiriku, diraihnya kepalaku agar terangkat menatap ke arah wajahnya, “Teh, tidak ada hal yang ribet didunia ini. Yang membuatnya ribet adalah cara kita menyikapinya. Patah hati, sakit hati, kehilangan seseorang, itu hanya sebagian kecil proses yang harus kita jalani dalam kehidupan singkat seorang manusia. Nikmati saja Teh, kadang kesakitan adalah jembatan yang baik untuk kita menyebrangi tingkat kedewasaan…”, matanya terlihat sangat hangat… senyumnya terlihat sangat tulus menatapku. Air mataku kembali berjatuhan, “Astaga Danang, seumur hidupku baru kali ini kudengar kata - kata begitu indah seperti barusan. Aku ngga pernah nyangka kamu bakal ngomong kaya gitu, belajar dari mana sih?”. Danang tertawa ringan, “Itu omongan nini saya yang ditranslate ke bahasa indonesia Teh. Yang pinter tuh ya nini saya, saya mah gini aja lah… karung goni… hahahaha”. Kami tertawa lepas setelahnya, karenanya kini aku bisa sedikit lupa pada kejadian pagi tadi. Bayangan tentang Pierre sedikit terhapus dalam ingatanku, aku bahagia memiliki seorang sahabat yang selalu bisa mengerti bagaimana cara berbicara denganku, bahkan dia mengerti bagaimana membuatku tenang.
“Teh!! Teh Wiwi!!! Bangunn!! Cepet bangun!!”, suara Danang terdengar nyaring ditelingaku. “Duhh, jam berapa sih ini? Ngantuk tauu…”, sambil ogah - ogahan kugerakkan tubuhku sedikit, lalu kembali memejamkan mataku. “Teteh!! Bangun!!! Ini serius!! Teteh harus lihat, si Pierre ada di halaman rumah teteh nih!!”, Danang kembali menggerak - gerakkan tubuhku kasar. Mataku tiba - tiba saja terbuka lebar setelah mendengarnya menyebut nama itu mataku menatap jam dinding yang saat itu menunjukkan pukul 11 malam, “Apa?! Si Albino itu datang?! Mau ngapain?! Ngga sudi aku ketemu dia! NGGA SUDI!!!”. Danang terlihat resah, “tapi teteh katanya ini sangat penting, dia bilang mau menjelaskan sesuatu… mmmh bahkan dia bawa si… mmmh… si cewe itu Teh… cewe yang di lift tadi”. Entah kenapa emosiku kembali tersulut, dan bahkan membara lebih agresif daripada sebelumnya. “USIR DIA DARI RUMAH INI!!! AKU TAK MAU LAGI MELIHAT LAKI - LAKI ITU!!! BATALKAN SEMUA PERJANJIAN DENGANNYA!!!! AKU BENCI DIA!!!”, suaraku menggelegar berteriak-teriak pada Danang, sementara anak itu hanya terlihat kebingungan dan takut melihat reaksi marahku. Dia hanya menganggukkan kepalanya, lalu dengan cepat meninggalkan kamarku dengan tergopoh - gopoh. Aku terdiam sendiri dalam kamarku setelahnya, tak lagi bisa melanjutkan tidurku. Dalam kepalaku terus berputar bayangan tentang kebencianku pada Pierre, hati kecilku berkata… “Kau menjijikkan Dewi! Dia bahkan belum tentu menyukaimu, lalu kenapa kau harus marah kepadanya? Hanya kau yang jatuh cinta kepadanya, kau harus ingat itu! Kau hanya mempermalukan dirimu sendiri Dewi”.
Hingga menjelang pagi mataku tak juga bisa tertutup, hatiku was - was memikirkan apa yang sebenarnya akan dibicarakan oleh Pierre padaku tadi malam. Pukul setegah lima subuh kuturuni tangga menuju paviliun Anta, “Nang... Danang, kamu udah bangun?”, sambil tak henti tanganku mengetuk pintunya. Tanpa menunggu lama Danang muncul dibalik pintu, mengenakan sarung berwarna hitam. “Teh, ada apa subuh-subuh begini? Sini masuk!”, Danang mempersilahkanku masuk. Kulangkahkan kakiku menuju tempat tidurnya, “Aku ngga bisa tidur, mau numpang tidur disini ya?”. Danang menggelengkan kepalanya, “Bukan muhrim, ngga boleh tidur bersebelahan”. Emosiku mulai tersulut, “Halahh!! Kamu sebulan lebih di rumah sakit aku tungguin juga aku ngga keberatan ko! Rese banget sih!”. Tiba-tiba Danang tertawa keras, “Hahahaha nah kan nah kan tuan puteri Dewi banget nih, pancing aja sedikit langsung ngaburudul ambek - ambekan. Ya boleh atuh teteh cantik, sok mangga kalau mau tidur tiap malem disini juga silahkan saja… ini kan rumah teteh juga bukan rumah Danang. Hahaha maaf saya cuman bercanda! hahaha”. Aku yang tadi marah mulai tersenyum kesal menatapnya, tanganku terangkat tinggi hendak memukul tangannya. Danang mengelak dariku dengan lincah, “Eits, udah wudhu… ga boleh kena eits eits… bukan muhrim!!”. Kukejar dirinya sambil terus mengarahkan tanganku padanya, lalu memeluki tubuhnya dengan kencang tanpa dia bisa mengelak lagi. “Syukurinnnnn!!! Hayo sana wudhu lagiiii!!! Hahaha makan tuh muhrimmm!!!”, lagi - lagi kami tertawa lepas pagi itu, dan tawa itu berhasil membuatku tertidur pulas di tempat tidurnya hingga berjam - jam.
Aku terbangun saat waktu menunjukkan pukul 2 siang, kulihat sekelilingku sudah tak ada tanda-tanda kehidupan. Paviliun Danang terlihat sangat rapih dan bersih, wangi bunga sedap malam tercium dari segala penjuru ruangan. Anak ini memang sangat klasik dan antik, sejak dulu kebiasaannya memang menata bunga sedap malam yang hampir 2 hari sekali dibelinya di pasar kembang, untung saja dia hanya menyimpan bunga - bunga itu… bukan memakannya. Ada aroma lain dari ruangan ini, mataku tertuju pada sebuah nampan berisi Lontong Kari Ayam dan segelas air teh yang tersusun rapih diatas meja belajar milik Danang. Kudekati meja itu seiring dengan bergejolaknya cacing - cacing di perutku. Diatas nampan itu tertulis, “Kepada teteh Wiwi si tuan putri pemarah, ini Lontong Kari favorit Danang loh… belinya jauh. Habiskan yah! Danang pergi dulu, ada urusan… kayaknya baru pulang malam. Nanti malam kalau teteh mau tidur di kamar Danang lagi silahkan, tapi itu artinya teteh Teh tega sama Danang… sekarang ajah badan Anta pegel - pegel karena tadi subuh tidur diatas ubin! Hahah becanda Teh. Selamat melukis ya! Semoga mood nya bagus!”. Sambil memakan Lontong Kari mulutku terus menerus tersenyum membaca tulisan pesan Danang berulang - ulang, anak ini begitu polos dan menyebalkan.
Waktu menunjukkan pukul 4 sore, dan aku kini sedang melamun memikirkan apa yang akan kutuangkan keatas kanvas putih yang sejak tadi tak sedikitpun kusentuh, padahal dia sudah berdiri tegap dan siap tepat didepanku. Tiba - tiba saja ideku muncul, rasa - rasanya aku perlu melukis sosok Danang. Selama ini aku selalu melukis apapun yang ada di dalam kepalaku, saat ini kepalaku tengah dipenuhi sosok Danang sahabatku yang sangat konyol. Aku mulai teringat coretan di kanvas kecil saat tak sengaja melukis Danang yang tengah melamun tempo hari, kuambil kanvas kecil itu lalu kemudian memindahkan apa yang kugambar diatasnya keatas kanvas yang lebih besar. Saat tengah asyik melukis, tiba - tiba telepon genggamku berbunyi menandakan sebuah pesan masuk. Tak kuhiraukan pesan itu. 15 menit kemudian berbunyi lagi, menandakan pesan kedua masuk namun tetap tak kuhiraukan karena aku terus menerus berkonsentrasi pada kanvasku. 15 menit selanjutnya bunyi itu kudengar lagi, kali ini menggangguku karena sepertinya ada 2 pesan baru yang masuk. Itu artinya, ada 4 pesan yang telah kuabaikan saat itu. Kulemparkan kuas dengan sedikit kesal, lalu mengambil telepon genggamku dan mulai membaca pesan demi pesan.
Pesan 1 : +62813247776
“Hi Dewi, are you okay? Realy want to meet you up.” –Pierre-
Entah kenapa saat membaca pesan ini, hatiku terasa berdebar sangat kencang. Aku yakin, pasti Danang yang memberikan nomorku ini kepadanya, sebelumnya aku tak pernah memberikan nomor telepon genggamku secara sembarangan kepada orang lain apalagi kepada klien. Kubuka pesan selanjutnya…
Pesan 2 : +62813247776
“Semalam saya ke rumah kamu, Danang bilang kamu sakit. Are you okay?” -Pierre
Pesan 3 : +62813247776
“Just reply this msg ‘YES or No’ to answer my question. Is it Dewi’s number?” -Pierre
Pesan 4 : +62813247776
“Jawab tolong ‘YA or TIDAK’ apakah benar ini number Dewi handphone?” –Pierre
Untuk sesaat aku terdiam memikirkan apa yang barusan kubaca, kupikir manusia Albino ini tak akan lagi muncul dalam hidupku. Dalam kemarahan hatiku, aku masih merasa kebingungan harus menjawab apa, tak ada Danang disini yang bisa kumintai pendapat. Lalu memori tentang peristiwa kemarin pagi kembali berkelibat dalam kepalaku, bayangan tentang manusia Albino itu yang sedang memelukki seorang wanita berambut panjang. Kuangkat telepon genggamku dan mulai membalas pesannya dengan menjawab, “TIDAK”. Sebelum menutupnya, dengan otomatis tanganku memilih tombol ‘simpan’, tak hanya nomor teleponnya yang kusimpan... tapi pesan-pesan itupun tak luput kumasukkan ke dalam memori telepon genggamku. Mataku terpejam, meragukan diriku sendiri yang ternyata masih tak bisa melupakan wajah indah seorang Pierre. Tak perlu menunggu lama, lagi - lagi dia membalas pesanku.
Pesan baru : Manusia Albino
“Ok, maaf mengganggu… terimakasih” :)
Kurentangkan tubuhku diatas tempat tidur sambil tak lupa menghela nafas begitu panjang, seolah habis melakukan sebuah hal yang sangat berat. Kepalaku kini memikirkan pesan - pesan itu, ada banyak pertanyaan - pertanyaan tidak penting didalamnya. “kenapa dia mencariku?”, “jangan - jangan sebenarnya dia suka aku?”, “Bisa jadi wanita itu hanya cewe yang ngefans padanya! Ya tidak?! ”, arrrrggggh Danang!!! Harusnya dia ada disini saat ini membantuku menjawab pertanyaan - pertanyaan bodoh itu!
Komentar
Posting Komentar