Danang Maulana part 2
Walaupun sebenarnya Danang yang di rawat di rumah sakit, tapi rasanya seperti aku yang baru saja sakit. Sepulangnya Danang ke rumah, kini giliran badanku yang merasa remuk... mungkin karena berminggu - minggu menemani Danang di rumah sakit dengan ruang yang sangat terbatas, kamar, wc, lalu kemudian kantin. "Hoaamm aku ngantuk sekali, bi Eha... tolong liatin Danang di kamarnya ya! Siapa tau dia butuh sesuatu. Aku mau ke atas! Ngantuk!", kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamar. "Beres mbak, laksanakan! Tapi mbak Dewi, jangan lupa makan yaa... Bi Eha takut nanti malah mbak Dewi yang sakit", bi Eha menimpali perkataanku. "Berisik!", hanya itu yang keluar dari mulutku.
Sudah beberapa hari ini Danang pulang ke rumah, dokter mengatakan kondisinya sudah lumayan membaik... hanya saja semua orang di sekitarnya harus ekstra hati - hati menghadapi Danang yang cede otaknya masih belum sembuh secara total. Kuperintahkan semua orang di rumah ini untuk mengingat hal itu, tak satupun orang kubiarkan merecoki Danang yang kini jadi semain pendiam. Heran anak itu benar - benar berubah... mulutnya tak lagi bawel, sikapnya tak seceria dulu, tapi tak mengapa... mungkin lama kelamaan dia akan kembali normal. Beberapa kali aku dibuat kesal oleh sikap Danang yang selalu bengong jika kuajak bicara, tak bisa kuungkapkan kekesalanku ini padanya. Alhasil, beberapa kanvas lukisanku hancur berantakan karena kubanting... Yaa... Ini yang kulakukan untuk meluapkan kekesalanku menghadapi Danang.
"Tok tok tok", suara pintu kamarku diketuk pelan oleh seseorang. "Masuk!", mataku baru saja akan terpejam... membuat emosiku agak tersulut karenanya. Pintu kamar terbuka sedikit, kulihat sesosok laki - laki kurus dan pucat berdiri di sana, mataku terbelalak kaget melihat sosok itu. "Gilaaaa! Untuk apa kamu naik ke atas sini Danang ?!!! Dasar gak becus bi Eha, harusnya dia saja yang ke kamar!!", aku berteriak sambil menghampiri Danang. "Ng... Ngak apa - apa ko teh. Danang boleh masuk ?", dengan polosnya dia menanyakan hal itu. "Kamu ini otaknya di mana si ? Biasanya juga kamu nyelonong masuk aja ke kamar ini. Aduh! Kalo kamu jatuh lagi gimana ?!", kupapah tubuhnya dan mendudukannya di tempat tidurku. "Terimakasih teh, teh... Danang kesini mau liat lukisan - lukisan baru teteh...", wajahnya terlihat dipaksakan tersenyum. "Gak ada, aku berhenti melukis", dengan ketus kujawab pertanyaannya. Tanpa menunggu dia bertanya, kujelaskan padanya bahwa aku tak akan melukis hingga kondisi kesehatannya membaik. Kepalanya tertunduk resah, "Teteh jangan gitu... beban Danang semakin berat". Mataku melotot menatapnya, "Heh! Baru sekarang kamu mikirin beban ? Harusnya kamu sadar, dengan kamu sakit begini ya kamu memang menjadi bebanku. Tapi kalau kamu sembuh, kamu gak lagi beban dan aku bisa melukis lagi. Jadi aku mohon nih padamu, dengar ya! Ini baru pertama kalinya aku memohon sama orang lain. Jadi, aku mohon... lekas sembuh!! Aku menderita melihatmu begini menyedihkan". Matanya tiba - tiba saja menoleh ke arahku, terlihat berkaca - kaca. "Teteh tolong stop teteh... jangan bilang hal seperti ini lagi yaa teteh...", Danang menatapku dengan penuh harapan. Aku tercengan melihat sikap Danang siang itu, tak pernah sekalipun kulihat dia menangis seperti ini selama aku mengenalnya. Dia benar - benar berubah, tanda tanya besar mengisi kepalaku tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Danang yang kukenal.
Danang meninggalkan kamarku lunglai, menolak untuk kupapah. Sebelum akhirnya menghilang dari balik pintu, wajahnya menatap ke arahku sedih. “Teteh, jangan sakit ya… Teteh banyakin makan, bosen Danang teh liat badan teteh kaya tengkorak hidup… model bukan, peragawati bukan, tiang listrik bukan, ngapain atuh teteh teh badannya mesti kayak begitu?”. Segurat senyum terukir diwajahnya, sementara aku yang sejak tadi kebingungan atas sikap Danang sontak tertawa terbahak-bahak mendengar perkataannya barusan. “Yaaaayyy!!!! Si Danang sudah kembaliiiii!!!!”.
...
Keadaan Danang sudah jauh lebih baik kini, sikapnya yang sempat menjadi aneh kini kembali seperti dulu lagi. Aku kembali melanjutkan kegiatan melukisku sedangkan dia kembali sibuk memasarkan lukisan - lukisanku itu pada kolektor yang sudah lama menanti lukisan baru dariku. “Teh, tahh kalau yang ini Danang suka pisan! Bagus teteh ih… lihat, ada binatang-binatang lucunya kaya kelinci… teteh teh kalau ngelukis yang kaya gini atuh teh, kaharti teteh… maksudnya mudah dimengerti apa maksudnya…”, Danang memandangi kanvas yang sedang kububuhi warna. “Heh seenaknya banget sih kamu! Dilarang komentar!! Enak aja, masa yang kaya gini kamu bilang kelinci?!! Dasar Panjuk! Ini tuh gambar meteooor Danang, hey INI METEOR”, kubisikan keras - keras kata - kata itu di telinga Danang. “Masa meteor adanya di tanah, ah dasar lieur seniman mah… teu ngarti…”, Danang membalikan tubuhnya dan segera berlalu dari hadapanku, sementara bibirku ikut mengumpat sambil mencibir mengantarnya pergi dari studioku. Hatiku tertawa melihat sikap Danang yang begitu lugu dan polos, lagi - lagi di dalam benakku tersirat rasa bersyukur pada Tuhan karena telah mempertemukan aku dengan Danang yang kini menjadi manusia paling berarti di dalam hidupku. Meski tak ada percik cinta dalam hubungan kami, tapi 100 persen aku yakin bahwa dia adalah segalanya bagiku lebih dari keluargaku sendiri.
Aku masih sering melihat Danang melamun sendirian di teras paviliunnya, tatapan matanya kosong, seperti malam ini saat tak sengaja kupergoki dia tengah melamun. Kuperhatikan dia lama dari atas studio, bertanya - tanya sebenarnya apa yang sedang dia lamunkan. Ketakutanku hanya satu, aku takut dia tidak merasa betah lagi tinggal di rumah ini dan bekerja bersamaku. Tak kubayangkan betapa kelimpungannya hidupku tanpa Danang, hanya dia satu - satunya orang yang bisa menghadapi segala kekuranganku dengan sabar. Aku tak ingin mengganggunya, biasanya kulempari dia dengan benda kecil apapun dari atas sini untuk membuyarkan lamunannya namun kali ini kuputuskan untuk mengawasi saja sampai berapa lama dia mampu bertahan melamun seperti orang stress. Diam - diam tanganku mengambil kanvas kecil, lalu mulai melukis apa yang sedang kuperhatikan. Kulukis dia yang sedang duduk termenung jauh disana, begitu lama hingga lukisanku selesai pun dia masih memaku tak bergerak. Ada apa dengan Danangku?
“Teh, siang ini Danang mau ketemu klien yah… dia tertarik buat bawa beberapa lukisan buat dijual di galerinya dia, alhamdulillah galerinya ada di Swiss. Semoga penawarannya menarik teh, kan lumayan yah… nanti teteh sama saya bisa terbang kesana beli cokelat yang banyak!”, matanya begitu berbinar saat menceritakan apa yang akan dilakukannya hari ini padaku. “Halah Danang, gak usah majang lukisan di pameran juga kita bisa pergi ke Swiss! Jangan kaya orang susah ah!”, bibirku selalu menggerutu seperti itu menanggapi kata - katanya. “Eh si Teteh, lumayan atuh gratis ari Teteh! Sekalian bisa cari jodoh nanti disana ih Teteh inimah cocok pisan buat Teteh, Teteh mah harus nikahnya sama Bule atau kalau orang sini mah harus sama nugelo sekalian”, kulihat wajah Danang kini terlihat kemerahan menahan tawa. “Ehhh siah, sialan kamu Danang!!! Kalau cuma orang gila yang mengerti aku, berarti kamu juga gila!!!! Ya udah sana pergi lah, kamu ngerusak imanjinasiku… menyebalkan. Sana sana sana!”, sambil cemberut kuperintahkan dia segera pergi meninggalkan studio. “Teh, teteh harus lihat ini klien yang punya galerinya… kasep pisan teteh campuran Prancis sama Cianjur..”, Danang masih sempat menggodaku sesaat sebelum keluar dari studioku. Akhirnya dia benar-benar pergi sambil tertawa puas mentertawakanku setelah kulempar dia dengan mug yang ada disebelahku. “Apa lagi yang pecah mba Dewiiiiiiiiii??????”, suara bi Eha terdengar sama dari bawah sana, dia memang sudah terbiasa dengan suara-suara lemparan benda dari dalam Studioku. “Hatinyaaaaa biii…”, Danang berteriak menanggapi pertanyaan Bi Eha dari luar studio sambil diiringi gelak tawa mereka setelahnya. Aku berteriak sangat keras, “Setannnnnnnnnn!!!!”.
...
“Teh Wiwi, ini kenalin… namanya Pierre. Dia yang saya ceritaan waktu itu, pemilik galeri di Swiss yang ingin bawa lukisan teteh ke galerinya”, dengan senyum khas miliknya Danang sangat sumringah membawa laki - laki setengah bule itu ke studio. Saat itu aku tengah menyelesaikan lukisan yang sudah seminggu ini kugarap, “Diam, jangan banyak bicara dulu silahkan keluar tunggu disana, aku sedang serius”, tak kubiarkan kepalaku berlama - lama menatap keduanya karena kini kedua mataku sudah terfokus lagi pada kanvas yang ada di depanku. “Heuh, maaf mister yah, Dewi memang begitu kalau sudah asik melukis. Kita ngobrol saja diluar ya? Sambil nunggu dia beres melukis?”, kulihat sekilas Danang membawa laki - laki itu pergi dari studio menuju teras luar, entah apa yang mereka lakukan disana.
“Ya, ada apa?”, kulangkahkan kakiku malas - malasan mendekati keduanya yang tengah asik berbincang di teras studio. “Wow, cepat sekali, sudah bereskah lukisannya Dewi?”, setengah terbata laki - laki itu bertanya sambil tersenyum menatapku. “Sudah. Hai, Dewi…”, jawabku sambil mengulurkan tangan kiri kepadanya. “Tehh ih yang sopan! Pake tangan kanan!!”, Danang tiba-tiba saja menepis uluran tanganku dan mengangkat paksa tangan kananku. “Hahaha sudahlah tidak apa-apa, halo Dewi… nama saya Pierre. Senang akhinya bisa berjumpa dengan kamu pelukis idola saya”, Pierre kembali tersenyum riang sambil tak melepaskan tangan kananku yang sejak tadi disambut oleh kedua tangannya. Kuhempaskan tangannya dengan kasar, “Ada apa ya anda kesini?”. Danang mulai menengahi kami, “Teh, jangan gitu ah. Dia ini datang kesini mau milih lukisan teteh yang mau dipajang di galerinya nanti. Ya mister ya?”. Laki - laki bernama Pierre itu kembali tertawa pada Danang, “Panggil saya Pierre…hahaha”. Tiba-tiba saja emosiku terpancing membuat keduanya terlihat kaget dan berhenti tertawa, “Enak saja pilih - pilih!!! Aturan dari mana itu??? Hanya saya bisa menentukan mana yang akan kamu bawa ke galerimu!!! Kamu pikir siapa kamu bisa seenaknya memilih?!! Kalau kamu masih mau ambil silahkan, kalau tidak suka dengan aturan saya ya silahkan pergi juga! Saya tidak butuh yang seperti ini!”. Pierre tampak shock dengan sikapku, namun kulihat Danang segera mencairkan rasa kagetnya dengan cara mengerdipkan sebelah matanya pada Pierre dan menarik laki-laki itu menjauh dariku, membisikkan sesuatu di telinganya. “Bencong!”, umpatku.
Komentar
Posting Komentar