Danang Maulan Part 3
“Mba Dewi, siapa itu yang kemarin datang? Ganteng sekali mba, Bi Eha baru loh liat laki - laki seganteng itu! Kirain cuman ada di tipi - tipi aja yang kaya gitu teh mba, ga kuat Bi Eha mah liatnya…”, Bi Eha tiba-tiba muncul dikamarku dan mulai membukakan tirai kamar satu - persatu, sinar matahari mulai mengganggu mataku. “Ga kuat kenapa atuh Bi Eha teh?”, Danang menyusul dibelakangnya. “Ga kuat pengen ngawin!”, suara tawa mereka berdua mulai bergelegar membuat ribut kamarku. “DIAMMMMMM KALIAN SEMUA BERISIIIIIKKKKKKKKK!!!”, aku berteriak-teriak sambil menutup kepalaku dengan bantal. “Eh ada macan ngamuk Bi, sana Bi Eha pergi biar saya yang menaklukan si macan ngamuk!”, Danang memberi kode pada Bi Eha disusul gerakan secepat kilat Bi Eha meninggalkan kamar yang tampak kaget mendengar teriakkan marahku pagi itu. Danang sekarang tampak tersenyum sumringah disisi tempat tidurku, “Selamat pagi teteh Wiwi yang cantik, baik budi, ramah, dan gemar berteriak… bangun yu! Pagi ini saya mau ajak Teteh ketemu Pierre si bule kasep itu, dia mau presentasi galerinya yang di swiss itu teh! Yu?!”. Mataku melotot hampir keluar, “Apa?! Ketemu si Albino itu lagi? Ngga mau!!! Aku malas!”. Danang yang kurang ajar mulai menariki selimut yang sejak tadi menutupi tubuhku, “Eh si teteh jangan begitu, kita harus menyambut rejeki kita dengan bahagia dan lapang dada. Swiss teh!! Swiss!! Abis itu kita kan bisa jalan - jalan!! Ke itutuh mmmh ke mana? Eta yang tempat drakula tea. Hayohhhh!! Teteh Wiwi sudah berjanji sama Danang mau bawa Danang kesana!”, Danang terus berteriak dengan penuh semangat. Jika sudah begitu, aku tak bisa menolaknya. Danang berhasil membangunkanku pagi itu dalam keadaan kesal dan marah, namun tetap saja tubuhku bergerak bangun dan bersiap atas keinginannya. Mungkin hanya Danang yang bisa membuatku seperti ini, sampai detik ini aku menganggapnya sebagai manusia ajaib yang bisa menaklukanku si macan betina.
“Danang, kenapa sih kamu ngotot banget mempertemukan aku dengan si Albino itu?”, kukemudikan setir mobilku menuju tempat kami janjian dengan Pierre. “Teh, jangan sembarangan menyebut nama orang. Namanya Pierre, bukan Albino!”, wajah Danang kini tampak serius menatapku. “Iya, iya sorry… Pierre deh bukan si Albino. Kenapa sih Nang? Kenapa kamu semangat banget sama proyek dia?”, dengan sedikit kesal kutanyakan kembali pertanyaan itu. “Gini Teh, sebagai menejer marketing Teteh… menurut Danang sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk Teteh melebarkan sayap sebagai pelukis yang berbakat. Selama ini meskipun karya teteh sudah cukup mahal dan diminati orang seindonesia, tapi kan belum pernah ada peluang yang pas untuk membawa karya-karya teteh ini ke dunia internasional? Nah, sekarang si Pierre Pierre ini memberikan celah yang bagus untuk Teteh menuju kesana. Danang juga pilih - pilih atuh teh, menentukan kira-kira cocok atau ngga dengan teteh. Kemarin - kemarin juga kan ada peluang ke Singapur, Cina, Perancis, semuanya Danang tolak karena kerjasamanya pasti ga akan sesuai dengan teteh Wiwi. Si bule ini orangnya sangat baik, dan kerjasama yang ditawarkannya juga oke! Makanya, sok atuh teh agak dibuka matanya lebar-lebar, coba kenali si bule ini karena dia memang orang yang sangat baik!”, Danang tersenyum lebar menatapku dari kursinya. “Hmmm… cukup rasional. Tapi ini keinginanmu yah Danang! Aku hanya ikut peranmu saja, kalau bukan karena kamu… aku malas sekali harus sampai seperti ini!”, tiba-tiba wajah Danang yang pucat pasi saat di rumah sakit melintas dikepalaku, perasaan kasihan terhadapnya muncul begitu cepat. “Iya teteh, pokonya teteh mah ikutin aja jalan ceritanya yah! Insyaallah barokah!”, Danang mulai tertawa senang. Tanganku mencubit pergelangan tangannya dengan sangat keras hingga dia mengaduh kesakitan, hatiku terasa tenang melihatnya bisa tertawa dan mengaduh seperti hari ini. Semoga selamanya bisa seperti itu.
Si Albino itu tengah duduk di sebuah kursi yang menghadap langsung ke pemandangan hutan, sebenarnya memang tempatnya duduk adalah spot favoritku di restoran hotel ini. Aku sering mengunjungi tempat ini untuk sekadar makan malam bersama keluargaku ataupun Danang, dan si Albino ini ternyata sudah 1 minggu menginap di hotel ini… katanya sih tujuannya mengunjungi kota ini hanyalah agar bisa bertemu denganku. “Halo Pierre, kami datang tepat waktu kan?”, Danang menyapanya lebih dulu disusul kemudian aku yang langsung menarik kursi disebelah si Albino. “Hai!”, kusunggingkan senyum seadanya. Si Albino memalingkan wajahnya kepadaku sambil melepas kacamata hitam yang sejak tadi dipakainya, “Hai! Selamat pagi Dewi!! Ka..mu cantik dipagi ini…”. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa malu dengan sapaannya barusan, terlebih kini wajahnya benar-benar dekat dengan wajahku dan kini aku bisa melihat bagaimana tampannya laki - laki ini. Astaga! Sepertinya baru pertama kali ini dalam hidupku menyebut seorang laki-laki dengan sebutan tampan, meski dalam hati sekalipun. Namun reaksiku selalu diluar dugaan, karena kini sebuah sendok makan sudah berada ditangan kananku dan kulemparkan tepat menyentuh kepalanya dengan cukup keras hingga dia terlihat kaget dan kesakitan, “Kalau bicara jangan dekat-dekat yah! Tidak sopan!!! Aku tidak suka laki - laki rese penggoda! Dasar Albino!”. Entah kenapa aku harus bersikap seperti itu, hati kecilku merasa malu melakukannya karena sebenarnya aku cukup senang melihat wajahnya begitu dekat dengan wajahku. “Hush!!! Tuh geura si teh Dewi mah, bener - bener kelakuannya teh kaya binatang! Udah ah jangan malu - maluin Danang atuh Teh! Kan tadi janji mau bersikap baik! Wajar atuh da dia mah Bule, mungkin Bule mah emang gitu cara ngobrolnya!”, Danang memarahiku yang kini hanya tertunduk diam. “Saya tidak apa-apa kok, sakit sedikit. Maafkan saya kalau tidak sopan Dewi, mohon maaf sepenuh hati”, si Albino tersenyum menatapku. Benar kata Bi Eha, wajahnya begitu tampan… bagai dipahat malaikat. Seberkas senyum terukir lagi diwajahku, aku tak tahu kenapa padanya aku jadi begitu murah senyum?
Pertemuan dengan si Albino hari ini cukup membuatku berkesan. Benar kata Danang, penawaran kerjasama yang ditawarkan olehnya memang tidak merugikanku, bahkan sangat menguntungkan aku. Terlebih lagi, dia bersedia menerima karya-karya yang memang kupilih sendiri untuk galerinya. Sepanjang sore hingga malam tanpa sadar aku terus melamunkan sosok si Albino, selain tampan… dia juga sangat ramah, dan selera humornya cukup bagus, tidak menyebalkan seperti laki - laki pada umumnya. “Teh, teteh lagi seneng yah?”, Danang yang sejak tadi menemaniku melamun menatap langit-langit kamar mulai berbicara. “Ngga, biasa aja! Kenapa emang?”, tanpa menatapnya aku terus memandangi langit-langit kamar dengan posisi terlentang diatas tempat tidur. “Malam ini ini teteh keliatan sumringah pisan, beda dari biasanya. Lagi mikirin apa sih?”, Danang mulai menanyaiku. “Mikirin kamu dong! Siapa lagi?”, aku tertawa ringan. “Tah kan, ini teh bener - bener ga biasa loh. Selama mengenal teteh belum pernah Danang ngeliat teteh kaya gini”, Danang mulai bangun dari posisi terlentangnya. Aku masih saja tak mau bergerak dari posisi terlentangku, “Danang… si Albino itu, lumayan juga yah…”. Aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu karena Danang tak lagi bersuara, sedangkan aku sepertinya tertidur sangat lelap. Kepala dan mimpiku malam itu dipenuhi sosok - sosok si Albino yang cukup mengusik perhatianku…
“Selamat pagiii Danang!!!! Hey bangun hey bangun bangun bangunnnn!!!!”, kurecoki tempat tidur Danang pagi itu. Entah setan apa yang sedang merasukiku, karena sudah sejak pukul 7 tadi aku terbangun dan memberanikan diri untuk mandi dengan menggunakan air dingin, tak pernah kurasakan sensasi seperti ini sebelumnya! Luar biasa menyenangkan. Danang tampak bingung melihat kehadiranku yang tiba-tiba, “Teteh, teteh kenapa? Ih aneh kaya nugelo. Mau apa teteh teh kesini?”. Kutarik selimut yang menutupi kaki Danang, “Bangun!!! Temani aku yu?! Aku ingin ketemu si Albino! Hehehe…”, kututupi wajah dengan kedua tanganku. “Ya ampunnnn subhanallah alhamdulillah wasyukurillahh!!! Terimakasih ya Alah ternyata si teteh Wiwi teh wanita normal, kirain selama ini dia teh kantong keresek yang kelakuannya luar biasa dan ga suka laki - laki!”, Danang tiba - tiba loncat dari tempat tidurnya lalu duduk dibawah tempat tidurnya dengan posisi kedua tangannya mengarah ke atas seolah sedang berbicara kepada Tuhan. “Heh berisik!!! Cepetan mandi dan cari tau dimana si Albino sekarang! Bilang aja kamu ngajak dia sarapan! Kamu ya! Bukan aku!”. Entah kenapa aku merasa begitu bahagia pagi itu, senang rasanya membayangkan akan bertemu Pierre lagi… mmmmh, bahkan aku lupa dengan sebutan Albinonya. Sepertinya aku sedang jatuh cinta, belum pernah sebelumnya kurasakan rasa seperti ini, begitu cepat timbul dan tumbuh di dalam hatiku, meledak - ledak dan tak terkendali… aku tak pernah mengalami sensasi seperti ini.
“Aduh teh, si Pierre ngga ngebales - bales sms Danang. Kumaha atuh? Mungkin dia masih tidur teh jam segini mah, kan kita ngga janjian sama dia buat ketemu lagi hari ini teh! Kumaha atuh yah?”, Danang tampak kebingungan. Aku tersenyum sangat lebar, “Kita datangi aja kamarnya yu? Beliin makanan aja buat sarapannya dia… gimana?”. Danang tampak melotot mendengar apa yang baru saja terucap dari bibirku, “Ih takut gini ih sama teteh Wiwi yang sekarang, kaya kucing yang lagi (birahi). Beneran ini teh Teteh Wiwiku? Bukan ucing gering kan?”. “Euh!!! Cepat ah jangan banyak bacot, yu kita cari sarapan buat Pierre…”, wajahku tertunduk malu menyebut namanya. Danang kembali bereaksi, “Pierre pierre ah! Si Albino biasanya juga!!!”.
Aku dan Danang sudah berdiri di depan kamarnya, dengan sebungkus kupat tahu ditanganku. Entah kenapa harus kupatahu yang kupilih, Danang yang memilihnya. Karena katanya, bule pasti jarang makan kupat tahu, Aku sih menurut saja. Sudah 5 menit ini Danang menekan bel kamarnya, namun tetap tak ada jawaban dari dalam sana. “Bener ga sih ini kamarnya? Jangan-jangan dari tadi kita berdiri di depan kamar kosong?!”, aku mulai kesal. “Ih bener Teteh, nih kan lihat kartu namanya! Kamar 315 kan bener?”, Danang menunjukan tulisan di balik kartu nama Pierre. “Atau mungkin dia udah pulang yah Danang?”, kutekuk wajahku kebawah… sedikit perasaan kecewa muncul. Sekarang sudah hampir 15 menit berlalu dan masih saja belum ada jawaban dari dalam kamar itu. Kesabaranku mulai habis, akhirnya kuputuskan untuk menggantungkan bungkusan kupat tahu itu pada gagang pintu kamar no 315. Aku tak peduli dia ada atau tidak, yang pasti pagi ini aku cukup kecewa karena tak berhasil bertemu dengannya. Kutarik tangan Danang dengan keras, “Pulang yuk! Cintaku bertepuk sebelah tangan! Setan! Albino setan! Bule setan!”. Danang menurut saja ketika tangannya kutarik dengan kasar, mulutnya tampak mengumpat kearahku, “Si macan jadi deui... heuh”. Kami terus berjalan melewati lorong - lorong kamar, kamar 315 memang berada agak jauh dari posisi Lift. Dengan serampangan aku terus berjalan cepat, sekali - kali kutendang tempat sampah yang ada di pojok - pojok lorong kamar. Saat berada di depan lift, kutekan - tekan semua tombolnya dengan kasar. Danang hanya terdiam memaku disampingku, dia tahu aku sedang sangat kesal dan tak bisa diganggu. Pintu lift terbuka, saat hendak kulangkahkan kakiku kedalamnya… Danang menarik tanganku dengan keras agar mundur. Aku yang sejak tadi menunduk kesal mulai marah dan memalingkan wajahku pada Danang, namun Danang memberiku isyarat agar menatap lurus kedalam lift. Saat itulah kulihat Pierre ada disana, sedang tak sadar dengan keberadaan kami yang tengah berdiri didepannya. Disanalah kulihat Pierre sedang memelukki seorang perempuan muda, dan perempuan itu membalas pelukannya dengan sangat kencang.
Untuk beberapa detik aku hanya terpaku, namun selanjutnya emosi menguasai kepalaku dengan sangat cepat. Mulutku meneriakkan satu kata, “BERENGSEKK!!!!”. Lalu mulai membalikkan badanku sambil berlari menuju tangga darurat…
Aku tak peduli pada siapapun yang mungkin melihatku seperti orang gila pagi itu. Sambil berlari menapaki tangga-tangga darurat, air mataku berjatuhan hebat seperti hujan. Hatiku terasa sangat sakit…
Komentar
Posting Komentar