Danang Maulana Part 1

"Halo !!! Nama saya Danang! Nama lengkap saya Danang Maulana, umur saya 17 tahun, saya pindahan dari kota subang, single, tampan, humoris, dan pandai bersih - bersih rumah. Insyallah kalau berteman dengan saya kalian gak akan rugi, karena saya juga hobi bersih - bersihin rumah orang", seisi kelas tertawa terbahak - bahak mendengar  perkenalan anak baru pindahan dari kampung ini. Di tengah anak - anak muda di kota yang sudah modern ini, rasanya kedatangan Danang menjadi sebuah angin segar untuk kami yang tak terbiasa dengan sikap kedaerahan milik Danang. Seketika itu juga Danang menjadi primadona dalam sehari, sikapnya yang sangat " sunda" dan polos membuat kami semua merasa senang berada di dekatnya. Senyum tak pernah absen dari bibirnya, kata - kata yang keluar dari mulutnya pun selalu saja membuat yang lain tertawa. Diam - diam, aku yang tak pernah bisa berteman dengan siapapun mulai memperhatikan Danang.

Orang bilang aku ini perempuan aneh, bahkan orangtuaku pun berkata seperti itu. Aku lebih suka berdiam diri di kamar dari pada harus berinteraksi dengan orangtua, adik, dan kakakku. Aku lebih suka menyimpan uang jajanku di kaleng bekas biskuit yang kemudian ku kubur di belakang halaman rumah, dibandingkan harus menyimpannya di bank seperti yang keluargaku lakukan. Aku lebih suka mematikan semua lampu yang ada di kamarku dan menggantinya dengan lampu petromax dan lilin - lilin di sudut kamar. Dan aku hanya mengerjakan hal - hal yang ku anggap penting, termasuk pekerjaan rumah yang di tugaskan oleh sekolah. Aku hanya mengerjakan tugas yang memang menarik dan berguna, jangan harap aku akan mengerjakan tugas "Mengarang" untuk tugas bahasa Indonesia karena bagiku imajinasi adalah omong kosong. Untuk apa membuat sesuatu yang di karang jika hal - hal yang realistis saja masih banyak yang menarik untuk diceritakan. Umurku kini 19 tahun, seharusnya aku sudah kelas 3, namun 2 tahun aku tinggal kelas akibat kuatnya sikapku dalam mempertahankan idealisme ini. Kecaman kudapat dari mana - mana dan dari segala arah, lalu reaksiku ?? Sungguh aku tak peduli.

"Awas si gila lewat... Ssshh nanti di tonjok loh kalo berisik... Ssshh ssshh", bisikan - bisikan seperti itu memang sudah jadi makananku sehari - hari " Booo... Booo...", kugerakan mataku ke atas dan ke bawah sambil menjulurkan lidah saat melintasi mereka yang sejak tadi terlihat mencibirku. Wajah kaget dan ngeri tergambar jelas diwajah mereka, ya... Inilah aksi si gila yang tak boleh mereka anggap remeh. Selama hampir 3 tahun bersekolah di sekolah ini rasanya hanya interaksi seperti itu yang biasa kulakukan dengan siswa lainnya. Tak sedikitpun terbesit keinginan untuk menjalin pertemanan apalagi persahabatan dengan mereka semua. Duniaku sudah begitu menyenangkan, untuk apa berbagi dengan orang lain ? Toh nantinya aku akan berakhir sendirian di dalam kuburku.

"Teh Wiwi, boleh saya duduk di sebelah teteh ?", laki - laki periang bernama Danang ini tiba - tiba saja mengusikku yang sedang sibuk melukis pemandangan di kepala, tentu saja tak kugubris dia. " Teh Wiwi ? Teh ? Diam tanda setuju yah, inimah setuju artinya", dia lantas mengangkat tasku di kursi sebelah lalu menaruhnya di lantai sebelah kiri tempatku duduk. Aku terus berdiam diri, tak bisa kubiarkan anak ini merusak lukisan pemandanganku yang sebentar lagi selesai. "Pertama namaku Dewi. Kedua aku tak pernah menikah dengan abangmu jadi jangan panggil aku dengan sebutan teteh. Ketiga, kau boleh duduk di sini selama mulutmu terkunci rapat dan tak mengeluarkan kata - kata tidak penting. Keempat jangan pernah berbicara denganku.", kuteriakan keras - keras peraturan yang kubuat untuknya sehingga beberapa siswa di kelas memalingkan wajah dan perhatiannya ke arahku. Danang tersenyum lebar, "Si Teteh Wiwi galak yah, saya jadi takut... Tapi gak apa - apa lah okey Danang nurut sama aturan - aturan yang teteh buat hehehe". " Dewi!!!", teriakku lagi. "I... I... Iya Dewi Wi... Wi... Dewi", dengan gaya gugup Danang mencoba mengajakku bercanda, dan tentu saja... Tak berhasil membuatku tertawa. Mulutku bersungut - sungut kesal, beberapa teman kelas berusaha memperingatkan Danang agar berhati - hati terhadapku dengan cara berbisik.

...

Sudah hampir 6 tahun aku bersahabat dengan Danang, sejak pertamakali dia memaksa duduk di kursiku. Tak ada yang berubah dengan diriku begitupula dengannya. Aku masih tetap wanita aneh, dan Danang tetap menjadi seorang laki - laki culun. Bangku kuliah sempat ku kenyam, sudah pasti paksaan ayahku yang ingin agar aku bersekolah sama seperti saudara - saudaraku yang lain. Hanya satu tahun untuk aku bertahan mempelajari seni murni di sebuah universitas, setelah itu... Aku memutuskan untuk menyalurkan bakatku di rumah saja. Ayah membuatkan ku studio terbuka di lantai 4 rumahku, menghadap langsung ke pegunungan yang terbentang di luar sana. Tak ada hal lain yang ingin kulakukan selain menuangkan lukisan di dalam kepalaku ke atas sebuah kanvas, hasilnya tak terlalu buruk... Terbukti dari peminat lukisanku yang cukup banyak. Tapi seperti biasa, aku tak bisa menjual isi kepalaku pada sembarang orang... Ada beberapa persyaratan khusus bagi calon pembeli lukisan - lukisanku.
.Pembeli hanya orang - orang yang menggunakan sapaan "Saya & Kamu", bukan "Lo & Gue", ataupun "Aku & Kamu" pada saat memperkenalkan dirinya untuk pertama kali kepadaku.
.Pembeli dilarang keras menanyakan makna dibalik lukisan yang kubuat.
.Tidak boleh ada kata - kata yang mengisyaratkan bahwa lukisanku mirip dengan seniman lain.
.Tidak satupun boleh menatap nyinyir kepadaku seperti teman - teman sekolahku dulu lakukan kepadaku.

Jika semua persyaratan itu lolos, maka untuk selanjutnya adalah urusan Danang yang melakukan penawaran harga lukisan - lukisanku. Danang sudah tahu betul apa yang aku mau, 6 tahun pertemanan ini membuatnya bisa benar - benar mengerti seorang Dewi yang begitu egois dan memiliki dunianya sendiri. Danang tidak berkuliah, dia tidak punya cukup uang untuk melakukan hal itu. Oiya kedua orangnya sudah meninggal dan dia sama sekali tak punya sanak saudara. Paman yang membawanya ke kota ini dan yang membiayai sekolahnyapun sudah tiada, maka Danangpun menerima tawaranku saat aku menawarkannya untuk tinggal di paviliun belakang rumahku dan menjadi orang yang mengurusi lukisan - lukisanku. Danang masih ceria sama seperti pertama kali mengenalnya, seluruh anggota keluargaku terhibur olehnya. Kadang aku merasa bahwa satu - satunya hal baik yang bisa kulakukan untuk keluargaku adalah membawa Danang menjadi bagian dari keluarga ini, setidaknya mereka merasa senang.

Selama berteman dengan Danang, pertanyaan mengenai tingkat kenormalan kami selalu saja menjadi tanda tanya besar dalam lingkungan pertemanan kami. Danang pernah bercerita kepadaku, sebagian besar mereka penasaran dengan cara berkomunikasiku. Dan Danang selalu menjelaskan dengan kata - kata hiperbola khasnya, "Teh Wiwi itu yah, mahkluk Tuhan paling langka yang harus kita lestarikan. Mungkin di dunia ini hanya ada satu mahkluk semacam teteh Wiwi ! Dan saya Danang sebagai manusia beradab dan menjunjung tinggi pelestarian budaya maka bertindak sebagai pelestari teteh Wiwi. Jadi maaf, saya tidak bisa bersih - bersih di rumah kalian karena saya sudah di boking sama teteh Wiwi,  untuk menjaga teteh Wiwi" beberapa di antara mereka juga mencurigai adanya percik asmara antara aku dan Danang, lagi - lagi Danang yang menjelaskan kepada mereka... haha mana ada waktu bagiku untuk mengklarifikasi masalah tidak penting seperti itu. Tak perlu kutunjakan bagaimana peduliku pada Danang karena dia pun tahu aku tak pernah sebegini baik dengan orang lain. Ibu pernah mendatangi kamarku, dia sangat penasaran pada hubunganku dengan Danang. Menurutnya, Danang bukan laki - laki yang terlalu hebat ataupun terlalu unik namun mengapa aku yang seperti ini bisa berteman dengannya ? Pertanyaan ibu kujawab dengan kalimat pendek. "Tuhan menciptakan Danang untukku bu".

...

"Teteh Wiwi, uang teteh yang di tabungan saya sudah semakin banyak. Punya rencana untuk di cairkan ?? Sayang loh, itu bisa di belikan untuk barang - barang yang teteh mau", setengah berlagak serius Danang duduk disampingku yang tengah bersantai duduk di sofa teras ruang melukisku. "Sudah ku bilang, panggil aku Dewi! 6 tahun berteman tak cukup ya membuatmu sadar kalau aku tak suka di panggil Teh atau Teteh atau Mbak ataupun apa itu lah...", tampangku agak kesal saat menjawab pertanyaan Danang. "Biar bagaimanapun umur teteh lebih tua daripada saya. Saya harus menyantuni teteh dong... Harus sopan teh.. Sopan...", Danang berbicara nyerocos sambil tertawa. "Yang harus disantuni tuh kamu bukan aku, yang yatim piatu itu kamu kan ?? Hahaha", aku tahu Danang sudah terbiasa dengan gaya bercandaku ini yang memang kadang terkesan kurang ajar. "Ah, si teteh mah... Selalu aja kaya gini. Ini uang mau dikemanain teteh ???", Danang kini menunjukan wajah kesal sambil terus menatap kedua mataku bagai anak anjing kelaparan. "Sebagian belikan kanvas dan alat - alat tulisku, sebagian untuk beli keperluan hidupmu, sebagian besarnya masukkan ke dalam tabunganmu, aku titip dulu", ku angkat tubuhku dari sofa dan bermaksud masuk ke dalam kamarku untuk tidur siang. "Eh si teteh yah, terus aja titip ke tabungan saya. Sudah menupuk teh, numpuk banget!", Danang berusaha menarik tanganku tapi kuhempaskan dengan kasar cengkramannya, jika sudah seperti ini Danang sudah mengerti aku takkan pernah bisa diganggu lagi.

...

Baru saja 10 menit mataku terpejam, suara ketukan pintu kamar terdengar begitu mengganggu telingaku. "Mbaak, Mbaak Dewi...  Mbak Dewi... cepat keluar mbak", ini pasti suara Bi Eha pembantu rumah tangga yang bekerja di rumahku. "Ya ? Ada apa bi Eha ?", aku takkan membukakan pintu kamarku sebelum aku tahu seberapa penting aku membuka pintu kamarku untuk orang lain. "Danang mbaak... Danang... jatuh barusan dari tangga, tolong mbaak bawa Danang ke rumah sakit. Danang gak bangun - bangun mbaak...", bi Eha terdengar sangat histeris... kata - kata yang keluar dari mulutnya pun berhasil membuatku terkejut hebat dan segera melompat dari tempat tidurku, mebuka pintu kamar dan berlarian menuju lantai 1 rumahku. "Danaaang... Yaa Tuhan selamatkan Danang!!!", aku berteriak - teriak meneriakan kata - kata itu saat beberapa orang anggota keluargaku mengerumuni Danang yang tergenang darahnya, entah darah dari bagian tubuh yang mana tapi tapi anggota keluargaku yang didominasi kaum hawa tak ada yang berani memegang tubuh Danang karena ketakutan. Ku angkat tubuh Danang yang terlelap bagai sedang bermimpi.. entah darimana datangnya kekuatan ini karena kini benar - benar kedua tanganku berhasil mengangkat tubuhnya, darah berceceran dilantai sehingga sekarang aku tahu kepalanga lah yang telah mengeluarkan banyak darah. "Dini! Cepat setiri mobilku! Menuju rumah sakit terdekat!! Bi Eha! Ikut aku!", tiba - tiba saja mulutku mengomando adik dan pembantuku untuk menyelamagkan Danang.

...

Sudah 23 hari 16 jam 23 menit 5 detik tubuhnya terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit, sahabatku satu - satunya tak sadarkan diri. Sudah selama itu pula sudah kupindahkan sebagian furniture kamarku ke ruang rumah sakit itu. Aku tak peduli pada biaya yang harus kukeluarkan untuk menyelamatkannya, aku tak peduli pada kanvas - kanvas kosong yang seharusnya kulukisi dengan gambar - gambar baru, aku juga tak peduli ada larangan menginap di rumah sakit oleh kedua orangtuaku yang mengkhawatirkan jika terus menerus menunggui Danang "Hhh, Danang... Danang... bangunlah bodoh! Aku sudah lelah menangis, ternyata betul mengeluarkan air mata itu rasanya menyakitkan... Bangunlah...", kubisikkan kata - kata itu di telinganya. Sejauh ini respon paling positif yang dilakukan olehnya hanyalah menjentikkan jari telunjuk, sungguh menyebalkan. Belum pernah aku sebegini peduli dengan orang lain selain diriku sendiri, pernah beberapa kali kaka dan adikku masuk rumah sakit dan tak pernah sekalipun kutengok mereka atau bahkan menanyakan kondisi kesehatan mereka kepada orangtuaku. Tapi kali ini berbeda, Danang sudah menjadi bagian penting dari diriku... tanpa harus banyak bicara dia sudah mengerti betul bagaimana cara menghadapiku. Danang terkena gegar otak akibat benturan kepala yang terlalu keras membentur lantai, kulit kepalanya robek hingga harus menerina beberapa jahitan. Jahitan di kepalanya sudah hampir mengering, namun kondisi Danang masih dalam keadaan koma. Ibuku hampir putus asa melihat Danang yang makin lama makin mengkhawatirkan, sedangkan aku sebaliknya... aku yakin akan selalu ada keajaiban untuk orang baik hati seperti Danang.

"Kepada Ibu Dewi, Ibu Dewi, Ibu Dewi dari pondok hijau... diharapkan untuk datang ke ruang A1. Kepada Ibu Dewi, Ibu Dewi... diharapkan untuk segera datang ke ruang A1", suara panggilan dari operator yang memanggil namaku begitu jelas terdengar, aku sedang membeli sarapan untuk mengisi perutku di kantin rumah sakit saat itu. Kutinggalkan makanan yang belum sempat kubayar, berlarian menuju kamar A1... kamar tempat Danang terbaring tak sadarkan diri. Aku yakin, ada sesuatu yang terjadi pada Danang. "Ya sus ?? Dok ? Ada apa ini ??", kepanikanku semakin menjadi saat melihat beberapa suster dan seorang dokter yang mengelilingi Danang. "Mbak dewi tenang dulu, mari kemari... mungkin ini saat yang mbak tunggu", wajah dokter begitu sumringah... begitupun para suster. "Danang?!! Danang?!!! Kau bangun ?? Danaaang!!! Terimakasih Ya Tuhan!!", aku berteriak histeris melihat Danang tersenyum begitu lebar melihatku. "Teh Wiwi...", bisiknya lemah. " Mbak, Mbak Dewi jangan terlalu aktif di sekitar Mas Danang yaa... kepalanya masih butuh penyesuaian. Jangan dulu dibebani dengan pikiran - pikiran dan obrolan yang berat ya, masih beruntung Mas Danang ini karena dia tidak kehilangan ingatannya", domter tersenyum sambil mengedipkan matanya padaku. "Kapan kami boleh pulang ?", pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku. "Kami ? Hahaha, mbak Dewi bisa pulang kapan saja... tapi Danang, nanti dulu yah... tunggu sampai kondisinya membaik", lagi - lagi dokter itu mengedipkan matanya. "Dok... Dok... te... rimaka... sih ya dok...", Danang ikut bersuara... suaranya masih sangat lemah, yang membuatku heran adalah tetesan - tetesan air mata di wajahnya disertai senyuman getir yang biasanya tak pernah Danang sematkan di birbirnya, mungkin dia sedang dalam kondiai dramatis melankolis akibat kesembuhannya... Sudahlah.

Danang tak banyak bicara, namun matanya terus menerus memandangiku entah apa maksud dari tatapannya itu. Aku lebih banyak bicara kepadanya, menceritakan isi kepalaku dan rencana - rencana setelah dia diijinkan pulang nanti. Aku bilang padanya "Danang, setelah kau pulang nanti... kita gunakan uang tabungan hasil penjualan lukisan untuk jalan - jalan". Danang tersenyum menatapku, "Iya Teteh... Ayok! Danang mah ikut aja kemana teteh pergi".

Komentar

Postingan Populer