Danang Maulana Part 6
Kejadian kemarin sore masih berdengung - dengung di kepalaku. Bayangan tentang kedua orangtuaku, Dini, dan kata - kata yang keluar dari mulut Ibu seolah sedang menghantuiku pagi ini. Sepertinya semalaman ini aku tidak bisa tertidur dengan nyenyak, karena beberapa kali mataku terbuka lebar untuk memastikan pukul berapakah itu. Sekali - kali kulongokkan kepalaku ke arah paviliun Danang, hanya untuk memastikan apakah dia sudah datang atau belum. Namun lampu depan paviliun itu tetap padam seperti sedang tak berpenghuni. Kemana Danang? Aku terus bertanya - tanya sendiri, sementara nomornya tak bisa kuhubungi sama sekali. Tenggorokanku kering kerontang, kuangkat tubuhku untuk mengambil gelas dan air putih yang selalu tersedia disebelah tempat tidurku. Badanku rasanya sakit sekali, entah karena salah posisi tidur atau karena telalu banyak angin yang masuk ke dalam pori - pori kulitku, aku baru sadar… semalaman jendela kamarku terbuka bebas. Dalam keadaan lemas kuteguk air putih di mug milikku bagai binatang yang sedang kehausan, saat itulah suara bising itu kembali muncul… tepat dibelakang telingaku, disertai sebuah pukulan dipunggungku. “Hayohhh!!!!”, suara itu mengagetkanku, sekaligus membuat semua air yang masuk ke dalam mulutku kembali berhamburan membasahi baju yang kukenakan.
“ANJIR!!!”, mulutku sontak berteriak kaget. Kulihat Anta sudah berdiri tegap sambil tersenyum - senyum seperti orang gila didepanku. “Teteh Wiwi kesayangan Danang selamat pagiiiii!!!!!”, dia kembali berteriak dengan gaya khasnya. Mataku kini mulai memasang ancang - ancang untuk melotot karena kesal, “Heh!!! Lihat nih airnya jadi tumpah semua!! Jangan ngagetin gitu dong!! Ga sopan banget sih! Udah ilang, tiba - tiba dateng ngagetin! Sialan!”. Danang tertawa puas, “Ih si teteh mah, memang sengaja Danng ngagetin Teteh Wiwi biar ngga ngantuk lagi hehehe. Teteh, jangan marah yah kemarin Danang Teh pergi ngga bilang - bilang ke Teteh… ada urusan keluarga mendadak di Subang”, ucapnya sambil menyodorkan saputangan untuk membersihkan sisa - sisa air di bajuku. Kutepis sapu tangan itu, “Halah alesan! Kupikir kau sudah yatim piatu ga punya sanak sodara. Jangan ngarang deh!”. Danang kini berlutut didepanku, kedua tangannya memegangi kakiku dengan erat. “Aih jangan marah atuh Teh, bener deh Danang ketemu sama sodara Danang. Ya memang Danang yatim piatu, tapi Anta kan masih punya sodara disana. Maaf ya tetehku yang cantik dan judes… sok atuh Danang harus ngapain biar teteh ngga marah?”, matanya terlihat memohon sedang mulutnya merengek seperti anak kecil. Aku mulai terkekeh melihat tingkahnya, kutarik kedua tangannya sambil memeluknya dengan sangat keras. “Danaaaaangg!!!!!! Aku rindu sekali padamuuuu!!! Banyak hal yang terjadi kepadaku 2 hari iniiiii!!! Aku kangen sekaliiiii Danangkuuuu”, aku berteriak - teriak seperti orang gila sedangkan Danang kini hanya terdiam kebingungan melihat reaksiku yang tak biasa.
Hari itu, aku dan Danang duduk berduaan di atas rooftop kamarku. Kuceritakan segala hal yang sejak kemarin ingin kuceritakan kepadanya. Tak henti tanganku terus memeluk tubuhnya, sementara dia hanya mengangguk - angguk mendengar semua ceritaku. Angin dan cuaca mendung kota Bandung hari ini membuat segalanya tampak dramatis, dua cangkir kopi susu yang 5 menit lalu masih mendidih pun kini terlihat sudah mendingin… dan mereka sama sekali tak kami sentuh. “Teh, kenapa harus pura - pura sih? Danang yakin si Pierre itu pasti punya alasan kenapa dia menghubungi teteh lagi. Ngga tau kenapa ya Teh, tapi perasaan Danang mah bilang kalau dia tuh sebenarnya ga ada apa - apa sama si cewe rambut panjang kaya kunti itu. Makanya waktu itu datang ke sini juga… Nah sekarang teteh pikir yah, kalau dia ga punya perasaan apa - apa ke teteh, ngapain atuh dia harus dateng kesini buat menjelaskan sesuatu ke teteh?”, mata Danang kini menerawang jauh ke perbukitan di depan kami sedangkan aku tertawa kecil mendengarnya menyebut kata kunti. “Dan Teh, untuk masalah Ibu… sebenarnya Danang ngga bisa terlalu masuk, karena ini masalah pribadi keluarga teteh. Tapi Teh, ini mah yah pemikiran dari Danang si anak yatim piatu ya Teh. Coba teteh posisikan diri teteh di Danang, dan rasakan bagaimana kerinduan Danang terhadap orangtua Danang yang udah ga ada. Ingat Teh, suatu saat Ayah dan Ibu teteh juga bakal ngga ada… dan saat itu terjadi, Danang yakin akan ada sebuah penyesalan di hati teteh kenapa dulu ngga begini kenapa dulu ngga begitu. Mumpung sekarang keduanya masih ada dan sehat wal afiat, coba rubah keadaan kaku ini Teh… Mereka adalah harta teteh yang paling berharga, termasuk Teh Dini yah. Dan sebenarnya hanya mereka yang bisa mengerti Teteh, jauh melebihi pengertian Danang ke Teteh. Saran Danang sekarang untuk kedua masalah teteh, coba buka mata, hati dan telinga teteh… jika semuanya terbuka, Danang yakin teteh Wiwi akan melihat semua ini adalah sesuatu yang harus dipertahankan…”. Aku hanya terdiam meresapi semua kata - kata Danang yang terdengar begitu dewasa, sedikit perasaan malu terselip didalamnya. Namun kini yang kulakukan untuk menanggapi kata - katanya adalah mengangkat tanganku lalu memukulkannya dengan keras di punggungnya, “Sok Tau kamu!”. Danang menarik tubuhnya dari tubuhku, lalu tangannya menjambak rambutku dengan keras, “Dasar si batu!!!”. Kami berdua kembali berpelukan, tertawa mentertawakan diri kami sendiri. Aku bahagia berada disisi Danang, dan kulihat begitupun sebaliknya.
“Teh, coba pinjem HP teteh!!”, Anta tiba - tiba mendekatiku yang sejak tadi begitu asik membubuhkan warna pada lukisan baruku. Lukisan “Danang” yang sejak kemarin kugarap dengan sengaja kusembunyikan dulu, aku tak ingin Danang tahu bahwa aku melukis sosoknya. “Mau ngapain?!”, kugenggam telepon genggamku kini dengan sangat erat seolah tak ingin direbut olehnya. “Siniin ah! Mau nebeng sms, Danang ga ada pulsa!!”, dengan cekatan dia merebut telepon genggam itu. “Ah dasar orang susah! Pulsa aja ngga punya, huh!”, kupalingkan wajahku kembali berkonsentrasi pada kanvas. “Nih Teh, nuhun”, Danang menaruh telepon genggam itu kembali pada tempatnya sebelum akhirnya dia keluar meninggalkan studioku.
Telepon genggamku tiba - tiba berbunyi, tanda pesan masuk. “Danaaangg!!! Tuh ada balesan woy!”, aku berteriak - teriak memanggil Danang. Dia balas meneriakiku dari luar studio, “Tolong dibales tehhhh!”. Hatiku mulai merasa tak enak, pasti ada sesuatu yang ga beres nih. Dengan cepat kuambil telepon genggamku, lalu mulai membaca pesan itu.
Pesan Baru : Manusia Albino
I know its you Dewi, saya ingin bertemu kamu segera. Bisakah?
Mulutku berteriak kencang, “Danaaaaaaaangg!!!!!!!!!”. Samar kudengar balasan dari teriakanku diluar sana, “Hahahahahahahahahaha sukurinnnnn!!!!”. Tanganku bergetar hebat membaca pesan itu, konsentrasiku pada lukisan pun buyar seketika. Danang sialan itu telah mengirimkan sebuah pesar untuk Pierre, tanganku sibuk membaca pesan apa yang sudah dikirim olehnya.
Pesan terkirim : Manusia Albino
Hai Pierre, maafkan saya… Betul ini nomor saya… Dewi.
Tanganku masih bergetar, namun memberanikan diri untuk menekan tombol balas.
Kepada : Manusia Albino
Halo Pierre, ya ini Dewi. Buat apa bertemu saya?
Terkirim.
Pesan baru : Manusia Albino
there’s something to explained.
Balas kepada : Manusia Albino
See you at 7 pm, in my studio.
Tanganku kini mulai berkeringat, tak percaya atas apa yang baru saja kulakukan. “Gila gila gila!!!! Ngapainnnnnn coba Dewiii?!?!?! Akkkkkks!!!! Harusnya ga usah dibales gituuuuuu aaaaaaaa!!!!!!!! Sialannnn!!!”, aku berteriak - teriak sendirian seperti orang gila. “Danaaaang sini heyyyyy Danaaaaang Anak Ontaaa!!!”, tiba - tiba aku berlarian sambil terus berteriak - teriak keluar studio lalu menuruni anak tangga dengan begitu cepat. Kulihat ada Dini dan Ibu disana dibawah sana sedang duduk berdua, mereka tercengang melihatku berteriak - teriak. “Sadar Dewi!!”, Ibu meneriakiku. Tak kugubris teriakannya karena kini aku mulai membelokkan tubuhku ke arah paviliun Danang.
“Danaaaaaang Danaaaaang Danaaaaaang”, kugedor - gedor pintu paviliunnya dengan semangat 45. Anak itu membukakan pintu kamarnya dengan wajah penuh senyuman, aku yang sejak tadi tak sabar menemuinya segera berhamburan masuk ke dalam paviliun itu. “Danang kamu gila kamu gilaaaa!!! Tapi aku suka kegilaanmu!”, kupeluk tubuhnya dengan penuh kegembiraan. Danang sedikit mengaduh karenanya. “Aduh Teh ih sakiiit…”, dia mendorong tubuhku pelan. “Terimakasih yah Danang, aku cukup senang… hehehe. Tapi aku harus bagaimana? Aku harus pake apa Danang?? Huhu aku tegang sekali ini!”, kali ini kugoyang - goyangkan bahunya dengan keras. “Teh… Teh… sadar ih jangan kaya nugelo!!!”, Danang menepis tanganku dari bahunya. Aku tertawa - tawa sendirian, sementara Danang tak sedikitpun tertawa.
Entah dari mana datangnya dia, karena kini disebelah Danang tiba - tiba saja berdiri seorang perempuan kecil berkerudung, wajahnya cukup cantik namun terlihat sangat lugu. “Siapa dia?!”, tawaku terhenti karenanya. Wajah Danang tampak pucat pasi melihat reaksiku. “Oh Teh, mmmh kenalin ini Irma. Mmmh… Teh, dia tunangan Danang…”. Bagai petir disiang bolong, kata - kata dari mulut Danang yang baru saja kudengar berhasil membuatku mematung hingga beberapa detik, mataku kembali melotot, emosiku terbakar cepat…
Segala kegembiraan yang baru saja kurasakan mendadak lenyap. Terimakasih Anta atas kata - kata yang kauucapkan.
Komentar
Posting Komentar